YOGYAKARTA (detikgarudaperkasa.com) – Administrative Legal Studies Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (ALS FH UII) bersama dengan Masykur Isnan and Partners Law Firm (MIP Law Firm), menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Diskusi ‘’Mengkaji Lembaga Kerjasama Tripartit Sektoral dalam Kerangka Hukum Ketenagakerjaan”, sebagai bagian rangkaian kerjasama untuk membuat analisa akademis dengan para Serikat Pekerja di sektor Penerbangan, Pelabuhan, Transportasi dan Strategis Nasional.
Acara Focus Group Discussion ini dilaksanakan Senin 13 April di Kampus Univesitas Islam Indonesia Jalan Kaliurang No.Km. 14,5, Krawitan, Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara tersebut dibuka Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D. selaku Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni, serta dihadiri 16 Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Lingkungan BUMN, BUMD dan Swasta yang bergerak dalam sektor Penerbangan, Pelabuhan, Transportasi dan Strategis Nasional.
Dalam acara tersebut dihadiri Serikat Karyawan AirNav Indonesia (SKYNAV), SP Biro Klasifikasi Indonesia (SPBKI), Serikat Karyawan Garuda, GMF Employee Club (GEC), Serikat Pekerja KSO TPK Koja, Serikat Pekerja Teluk Lamong, SP TKBM JICT-TPK Koja, PP SPTKBM, SPFKK-PB, SP NPCT 1, Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Bersatu, Asosiasi Pengemudi Seluruh Indonesia, FSPTI – KSPSI DKI Jakarta, SP Dok Kodja Bahari Grup, PP FSPMI-KSPSI (MJH) dan tamu undangan lainnya.
Dalam sambutannya, H. Farudi Petta Chinna ST. MT selaku Ketua Umum SPTPK-Koja dan Ketua Forum Pekerja Peti Kemas Indonesia, sebagai perwakilan dari para Serikat Pekerja yang hadir mengatakan dalam sambutanya akan mendorong transformasi Serikat Pekerja yang mengedepankan silaturahmi, konsolidasi struktural dan intelektualitas menjadi penting dan perlu untuk mengikuti perkembangan zaman.
“Serikat Pekerja semoga bisa menjadi strategic partner bagi pemerintah dan perusahaan, baik dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik ketenagakerjaan maupun norma dan syarat kerja di tingkat bawah yang berlandasakan dialog sosial/musyawarah mufakat serta asas hubungan industrial pancasila,” ungkapnya.
Rangkaian kegiatan FGD dimulai dengan sesi diskusi publik oleh Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H. selaku pemantik satu dan H. Masykur Isnan, S.H., M.H. selaku pemantik dua yang dipandu oleh Rama Hendra Triadmaja selaku moderator.
Dalam sesi pemaparan materi pertama disampaikan oleh pemantik pertama Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H. Beliau menyampaikan bahwa yang berfokus dalam mengkaji hubungan antara dampak era disrupsi dengan perkembangan hukum ketenagakerjaan Indonesia saat ini. Pada awalnya, hukum ketenagakerjaan bersifat privat antara pemberi kerja dan pekerja saja, akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman hadir peran pemerintah dalam hubungan kerja yang bersifat keperdataan.
Kondisi itu disebut dengan sosialisering proses, yaitu turut campur tangannya pemerintah ke dalam grey area agar melindungi pihak-pihak yang lemah, sehingga tercipta kesejajaran dan perlindungan kepentingan umum dalam hubungan kerja.
Lanjutnya, ini menjadi sebuah tantangan apabila dikaitkan dengan era disrupsi atau disebut dengan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity). Keadaan ini menuntut kepada setiap pihak untuk meningkatkan pemahaman dan pengembangan kompetensi yang multidisipliner. Sementara itu, dari sisi pemerintah mengembangkan konsep hubungan industrial yang berakar pada ruh Pancasila dalam pelaksanaan hubungan kerja.
Hal tersebut mendasarkan pada tiga aspek utama, yaitu perlindungan kerja, pengupahan, dan kesejahteraan pekerja. Dengan demikian, Hubungan Industrial Pancasila bertujuan untuk memastikan terpenuhinya hak-hak pekerja, meminimalisasi risiko bekerja dan risiko sosial yang timbul, mencegah diskriminasi, dan mewujudkan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga.
Adapun sesi pemaparan materi selanjutnya oleh pemantik dua H. Masykur Isnan, S.H., M.H. dalam penjelaskan tentang permasalahan ketenagakerjaan yang berawal dari kualitas sumber daya manusia. Sebab, persoalan kualitas sumber daya manusia menjadi akar domino effect atas permasalahan satu dengan permasalahan lainnya.
Ia menyebutkan terdapat empat permasalahan utama dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia saat ini, yaitu: 1) pelaksanaan hak-hak pekerja tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2) tidak ada perhatian terhadap kesejahteraan pekerja; 3) tidak terciptanya komunikasi yang baik dengan pekerja; dan 4) lambatnya penyelesaian keluhan pekerja.
Catatan kritis ini melahirkan tiga solusi strategis sebagai basis induk terhadap penyelesaian persoalan ketenagakerjaan. Basis intelektualitas dengan meningkatkan skill dan menata ulang pemahaman serikat pekerja/serikat buruh. Basis jaringan dengan mengadakan kajian kolaboratif dengan akademisi, dan basis ekonomi yang dimanifestasikan dalam koperasi pekerja. Diskusi Publik diakhiri dengan sesi tanya jawab yang kemudian dipertajam melalui FGD yang dibagi ke dalam dua chamber.
Bahwa dari Focus Group Discussion (FGD) ini menunjukkan urgensi adanya evaluasi terhadap Lembaga Kerja Sama Tripartit Sektoral (LKS Tripartit Sektoral) agar dapat menyelesaikan permasalahan sektoral yang kerap kali terabaikan. Evaluasi ini mendukung agar kehadiran LKS Tripartit Sektoral dalam kerangka hukum ketenagakerjaan tidak hanya menjadi pilihan semata melainkan suatu keharusan. Di sisi yang lain, tantangan mengenai efektivitas jumlah kelembagaan harus tetap menjadi pokok perhatian, sehingga dalam merumuskan pembagian sektor haruslah melalui kajian yang komprehensif.
Selanjutnya, visualisasi keberadaan LKS Tripartit Sektoral harus dikawal secara ketat agar sesuai dengan cita – cita pembentukannya. Selain itu, FGD ini menghasilkan gagasan baru tentang arah pengembangan model LKS Tripartit Sektoral yang diharapkan dapat memangkas kerumitan birokrasi ketenagakerjaan.
Arah pengembangan model LKS Tripartit Sektoral harus disandarkan pada konvensi-konvensi internasional yang telah memberikan rekomendasi struktur lembaga. Lebih daripada itu, manifesto ini tidak hanya disandarkan pada pembaharuan struktur kelembagaan saja, melainkan menelisik pada pentingnya pengisian keanggotaan kelembagaan berdasarkan meritokrasi dan political will pemerintah sebagai perumus serta pelaksana kebijakan. (red)