PLTA Batang Toru dan Orangutan Tapanuli: Dilema Energi Bersih di Sumatera Utara

BATANG TORU (detikgp.com) – Sungai Batang Toru di Tapanuli Selatan bukan sekadar aliran air yang membelah hutan. Ia adalah nadi kehidupan masyarakat di hilir sekaligus rumah bagi salah satu primata paling langka di dunia, Orangutan Tapanuli.

Namun, keheningan hutan tropis yang rimbun ini beberapa tahun terakhir diwarnai perdebatan panjang: apakah proyek PLTA Batang Toru benar-benar solusi energi bersih, atau justru ancaman baru bagi ekosistem yang rapuh?

Pemerintah sejak awal meyakinkan bahwa PLTA Batang Toru akan menjadi pilar transisi energi, mendukung target pengurangan emisi dan menyediakan listrik ramah lingkungan. Pembangunan bendungan dan terowongan air diyakini mampu menghasilkan energi setara ribuan megawatt yang dibutuhkan Sumatera Utara.

Namun, dari sisi lain, aktivis lingkungan menilai proyek ini berisiko besar terhadap habitat Orangutan Tapanuli yang populasinya diperkirakan tidak lebih dari 800 ekor. Fragmentasi hutan karena pembangunan akses jalan, terowongan, dan fasilitas pendukung dianggap bisa mempercepat ancaman kepunahan spesies endemik tersebut.

Persoalan lingkungan ini tak hanya berhenti di ruang diskusi. WALHI Sumut sejak 2018 melayangkan gugatan atas izin lingkungan PLTA Batang Toru. Perkara itu bahkan telah bergulir hingga tingkat Mahkamah Agung. Ironisnya, setelah hampir lima tahun, status gugatan masih menggantung tanpa kepastian putusan. Situasi ini  menimbulkan tanda tanya besar: apakah hukum lingkungan di Indonesia benar-benar mampu memberi kepastian bagi rakyat dan kelestarian alam, atau justru tunduk pada kepentingan modal dan investasi besar?

Sebagaimana diberitakan media setempat, pada pertengahan Agustus 2025, Komisi B DPRD Tapanuli Selatan melakukan kunjungan langsung ke lokasi PLTA Batang Toru.

Dalam pertemuan dengan manajemen proyek dan warga sekitar, DPRD menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat, pengelolaan dampak lingkungan, dan keterbukaan informasi. Mereka juga mencatat aspirasi masyarakat hilir yang khawatir terhadap perubahan volume dan kualitas air sungai yang selama ini menjadi sumber utama irigasi dan kebutuhan rumah tangga.

Kunjungan ini memberi sinyal bahwa pengawasan politik lokal terhadap proyek strategis nasional tetap diperlukan, terutama untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan.

Di sisi lain, masyarakat lokal berada dalam posisi dilematis. Di satu pihak, kehadiran PLTA diharapkan membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi desa. Namun, di pihak lain, mereka khawatir kehilangan akses terhadap sumber air bersih, terancamnya lahan pertanian, serta hilangnya identitas ekologis Batang Toru sebagai kawasan penyangga kehidupan.

Kontroversi PLTA Batang Toru sejatinya menggambarkan dilema besar yang kini dihadapi Indonesia: antara mengejar energi bersih untuk masa depan atau menjaga hutan hujan tropis sebagai benteng terakhir keanekaragaman hayati dunia. Jalan tengahnya menuntut komitmen serius: memastikan kajian lingkungan benar-benar dilaksanakan, rekomendasi ilmiah tidak diabaikan, dan suara masyarakat adat maupun lokal tidak dipinggirkan.

Sungai Batang Toru tidak hanya soal listrik dan pembangunan, tetapi juga tentang warisan ekologi yang tak tergantikan. Bila Orangutan Tapanuli hilang, maka dunia kehilangan satu spesies primata yang tak pernah ada duanya. Pertanyaan yang tersisa adalah: apakah demi energi bersih, kita rela menukar keabadian hutan dengan turbin raksasa yang berdiri di atas rapuhnya masa depan? (Red./As)

Editor: Nurul Khairiyah

Sumut
Comments (0)
Add Comment