Guncangan Politik dan Ekonomi: Sri Mulyani, Pasar Modal, dan Gelombang Ketidakpuasan Publik

JAKARTA (detikgp.com ) – Rentetan peristiwa yang mengguncang sektor ekonomi dan politik Indonesia dalam beberapa pekan terakhir menempatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di tengah pusaran krisis. Mulai dari penjarahan rumah dinasnya, gejolak pasar modal, hingga isu pengunduran dirinya dari kabinet, semua menyoroti persoalan serius: lemahnya perlindungan terhadap pejabat strategis dan memuncaknya ketidakpuasan publik terhadap kebijakan fiskal.

Insiden penjarahan di kediaman dinas Sri Mulyani menjadi pemicu utama eskalasi situasi. Aksi massa yang disebut terorganisir terjadi dalam dua gelombang, melibatkan ribuan orang. Padahal, menurut sumber internal, Sri Mulyani telah meminta bantuan pengamanan kepada Menteri Pertahanan. Namun, hanya 20 personel disiapkan—jumlah yang dinilai tidak proporsional dengan skala ancaman.

Berdasarkan podcast tempodotco bertajuk “Cerita di Balik Rencana Mundurnya Sri Mulyani | Jelasin Dong!” yang tayang pada 6 September 2025, Menteri Keuangan dikabarkan sempat menyampaikan keinginannya untuk mundur dari kabinet. Langkah ini disebut-sebut dipicu oleh rasa kecewa mendalam terhadap minimnya perlindungan yang diberikan negara kepadanya, terutama setelah insiden penyerangan di kediamannya.

Ketidakhadiran Sri Mulyani di ruang publik pasca-insiden memperburuk kekhawatiran pasar. Ketika Bursa Efek Indonesia dibuka keesokan harinya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung anjlok sekitar 2% dalam satu hari. Investor asing menarik dana sebesar Rp 2,1 triliun—angka yang jauh di atas rata-rata harian normal.

Lebih lanjut, data Bank Indonesia mencatat bahwa sepanjang 1–3 September 2025, seluruh instrumen pasar keuangan mengalami net outflow besar-besaran. Total net outflow menembus Rp 16,85 triliun—tertinggi sejak pekan kedua April 2025 saat puncak perang dagang. Pasar saham menyumbang Rp 3,87 triliun, Surat Berharga Negara (SBN) Rp 7,69 triliun, dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) Rp 5,29 triliun. Ini menjadi minggu kedua berturut-turut modal asing meninggalkan Indonesia, dengan akumulasi total mencapai Rp 17,1 triliun. Data ini menegaskan bahwa ketidakpastian politik dan fiskal memicu sentimen negatif mendalam di kalangan investor.

Sementara itu, rupiah sempat tertekan mendekati Rp 16.700 per dolar AS sebelum berhasil ditahan di kisaran Rp 16.300 berkat intervensi Bank Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama otoritas pasar keuangan berusaha menenangkan pasar dengan menyampaikan data makro yang stabil. Namun, absennya Sri Mulyani tetap memunculkan spekulasi soal stabilitas kabinet.

Tak hanya pasar, sorotan juga datang dari masyarakat. Kebijakan fiskal yang dijalankan Sri Mulyani dinilai memicu ketidakpuasan. Beberapa kebijakan utama yang menuai kritik antara lain:

  • Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, yang dianggap memberatkan masyarakat dan dunia usaha;
  • Pemangkasan transfer ke daerah (TKD), yang memaksa pemerintah daerah seperti Kabupaten Pati menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%;
  • Efisiensi anggaran drastis, yang berdampak pada lembaga negara dan sektor swasta;
  • Pernyataan kontroversial soal tunjangan guru dan dosen, diperparah oleh penyebaran berita palsu (deepfake) yang memicu kemarahan para pendidik.

Situasi ini menunjukkan bahwa Sri Mulyani menghadapi tekanan dari dua sisi: dinamika internal kabinet dan gelombang protes dari masyarakat.

Dalam unggahan di media sosial, Sri Mulyani akhirnya muncul dan menyampaikan permintaan maaf. Ia berjanji akan melakukan evaluasi fiskal dan memastikan tidak akan ada kenaikan tarif pajak baru di tahun mendatang. Namun, banyak pihak menilai pernyataan ini masih bersifat reaktif dan belum cukup untuk mengembalikan kepercayaan.

Presiden dan pejabat tinggi ekonomi disebut tengah berupaya meyakinkan Sri Mulyani untuk bertahan, mengingat perannya yang krusial bagi stabilitas fiskal dan kepercayaan investor global. Hingga kini, belum ada sosok pengganti yang dinilai setara, bahkan dari kalangan internal istana.

Situasi ini menuntut pemerintah untuk bergerak cepat, tidak hanya dalam meredakan pasar, tetapi juga memulihkan kepercayaan publik. Evaluasi menyeluruh atas kebijakan fiskal dan peningkatan perlindungan bagi pejabat negara menjadi dua langkah krusial agar krisis serupa tak kembali terulang. (Red./As)

Editor: Nurul Khairiyah

DKI JakartaSri Mulyani
Comments (0)
Add Comment