Reformasi Polri di Era Presiden Prabowo: Mengembalikan Jati Diri sebagai Pelayan dan Pengayom Masyarakat
JAKARTA (detikgp.com) – Kepolisian memiliki sejarah panjang yang sudah dimulai sejak zaman kuno. Di Mesir era Firaun dikenal petugas keamanan yang menjaga istana dan masyarakat. Di Romawi kuno ada cohortes urbanae dan vigiles yang mengawasi ketertiban kota. Model polisi modern berkembang di Eropa, terutama Inggris dengan lahirnya Metropolitan Police tahun 1829 yang mengedepankan prinsip pelayanan publik. Namun di sisi lain, kritik juga muncul, seperti slogan “ACAB/1312” yang mencerminkan ketidakpercayaan sebagian masyarakat Eropa terhadap polisi.
Di Indonesia, lembaga kepolisian lahir sejak masa kolonial Hindia Belanda dan berubah fungsi setelah kemerdekaan. Awalnya polisi berada di bawah TNI (ABRI), lalu pada 1 Juli 1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara. Setelah reformasi 1999–2000 Polri resmi dipisahkan dari TNI untuk memperkuat peran sipilnya agar netral dari politik dan fokus pada pelayanan masyarakat.
Landasan hukum Polri diatur dalam UUD 1945 Pasal 30 ayat (4) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aturan turunannya antara lain PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, serta Peraturan Kapolri tentang Kode Etik Profesi Polri. Prinsip moral Polri tercermin dalam Tribrata (janji pengabdian kepada nusa dan bangsa, menjunjung tinggi kebenaran, menjaga kehormatan Polri) dan Catur Prasetya (empat pedoman kerja melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dengan profesionalisme dan menjunjung HAM).
Kewajiban anggota Polri mencakup netralitas dalam politik, tidak menyalahgunakan wewenang, transparansi penegakan hukum, dan penghormatan terhadap keberagaman. Pelanggaran disiplin dapat dikenakan sanksi etik hingga pidana. Pengawasan dilakukan oleh Divisi Propam, Komisi Kode Etik Polri (KKEP), dan Kompolnas sebagai pengawas eksternal.
Meski demikian, berbagai tantangan tetap muncul. Penempatan perwira Polri di sejumlah lembaga sipil dan dinamika politik kadang menimbulkan persepsi bahwa kepolisian belum sepenuhnya netral. Karena itu, Presiden Prabowo Subianto pada 2025 menginstruksikan reformasi mendalam agar Polri benar-benar kembali ke jati dirinya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
Langkah reformasi itu antara lain pembentukan Komite/Komisi Reformasi Kepolisian, pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri melalui Sprin Kapolri Nomor Sprin/2749/IX/TUK.2.1/2025, serta penunjukan Jenderal (Purn.) Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Reformasi Kepolisian.
Tim ini beranggotakan perwira tinggi dan menengah serta melibatkan tokoh masyarakat dan akademisi agar reformasi berjalan transparan. Fokusnya mencakup perbaikan struktur organisasi, budaya kerja, profesionalisme, sistem promosi berbasis merit, pengawasan eksternal yang kuat, dan transparansi anggaran.
Praktik terbaik dari berbagai negara dapat menjadi acuan. Inggris menekankan transparansi dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan. Jepang memprioritaskan kedekatan polisi dengan warga lewat pos koban. Selandia Baru sukses membangun budaya kepolisian berbasis kemitraan dengan komunitas Maori dan minoritas. Polri diharapkan mengadopsi elemen-elemen positif tersebut sesuai konteks Indonesia.
Para pengamat menilai, jika reformasi ini berjalan konsisten, Polri dapat membangun kembali kepercayaan publik dan meminimalkan potensi politisasi. Dengan dukungan politik dari Presiden, inilah momentum bagi Polri untuk bertransformasi menjadi lembaga profesional, humanis, dan netral—benar-benar menjadi pelayan dan pengayom masyarakat Indonesia. (Red./As)
Editor: Nurul Khairiyah