DME vs LPG: Revolusi Energi atau Beban Baru bagi Rakyat?

JAKARTA (detikgp.com)– Pemerintah melalui Kementerian ESDM resmi memfinalisasi proyek ambisius penggantian Liquified Petroleum Gas (LPG) dengan Dimethyl Ether (DME) berbasis batu bara. Langkah ini disebut sebagai terobosan menuju kemandirian energi. Namun, dibalik rencana besar ini, sejumlah pertanyaan kritis mengemuka, terutama menyangkut kesiapan dan dampaknya bagi masyarakat.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan proyek ini didorong oleh dua alasan utama. Pertama, untuk menghentikan ketergantungan impor LPG yang mencapai 6,5-7 juta ton per tahun dari total konsumsi 8,5 juta ton. Kedua, DME diklaim lebih ramah lingkungan dengan emisi gas rumah kaca 20% lebih rendah dibanding LPG.

Ketua LSM Matahari, Rupsel Simbolon, ketika diwawancarai DetikGarudaPerkasa.com mengapresiasi niat baik pemerintah, namun mengingatkan agar kebijakan ini tidak justru menjadi beban baru bagi rakyat.

“Kami dari LSM Matahari mendukung setiap upaya kemandirian energi. Namun, transisi dari LPG ke DME tidak boleh menjadi revolusi yang dipaksakan. Rakyat jangan sampai menjadi korban dari kebijakan yang tidak matang perhitungannya,” tegas Rupsel.

Rupsel membeberkan tiga poin kritis yang menurutnya belum terjawab dalam rencana transisi ini.

Pertama, soal transparansi anggaran dan jaminan tidak ada beban baru bagi rakyat. 

“Dari mana dana untuk membangun pabrik gasifikasi batu bara? Apakah harga DME nanti benar-benar lebih murah? Dan yang paling mendesak, siapa yang akan menanggung biaya penggantian kompor khusus DME untuk jutaan keluarga miskin Indonesia?” tanyanya.

Kedua, paradoks klaim energi hijau. Rupsel menyoroti fakta bahwa DME tetap berasal dari batu bara, sumber energi fosil yang justru sedang dikurangi secara global.

“Mengganti satu energi fosil dengan energi fosil lain bukan solusi berkelanjutan. Ini seperti pindah dari pelukan buaya ke mulut harimau. Kita justru mengunci ketergantungan pada batu bara untuk puluhan tahun mendatang,” ujarnya.

Ketiga, pentingnya kajian independen dan partisipasi publik. Menurut Rupsel, uji coba terbatas di beberapa daerah tidak cukup menjadi dasar kebijakan nasional.

“Perlu kajian independen tentang dampak kesehatan DME jangka panjang. Juga studi mendalam tentang dampak sosial-ekonomi, termasuk beban tambahan waktu memasak bagi ibu rumah tangga,” paparnya.

Secara teknis, transisi ke DME menghadapi beberapa tantangan nyata. DME memiliki calorific value (7.749 Kcal/Kg) yang lebih rendah dibanding LPG (12.076 Kcal/Kg), yang berarti waktu memasak akan 1,1-1,2 kali lebih lama.

Yang lebih krusial, masyarakat membutuhkan kompor khusus DME karena tidak kompatibel dengan kompor LGP existing. Harga kompor DME khusus diperkirakan berkisar Rp 200.000-500.000 per unit – biaya yang tidak kecil bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Pengalaman internasional menunjukkan bahwa belum ada negara yang menerapkan DME 100% untuk kebutuhan rumah tangga skala nasional. China, produsen DME terbesar dunia, menggunakan DME terutama untuk blending dengan LPG (20:80) yang masih kompatibel dengan kompor existing.

“Indonesia akan menjadi pelopor dalam penggunaan DME 100% untuk rumah tangga skala masif. Ini berarti kita berjalan di jalur yang belum banyak dipetakan negara lain,” tambah Rupsel.

LSM Matahari mendesak pemerintah untuk melaksanakan beberapa langkah sebelum implementasi penuh:

1. Transparansi anggaran proyek gasifikasi batu bara

2. Kajian independen menyeluruh oleh pakar multidisiplin

3. Dialog publik inklusif dengan melibatkan masyarakat

4. Peta jalan jelas mekanisme penggantian kompor, terutama untuk keluarga miskin

5. Pilot project lebih luas sebelum implementasi nasional

“Revolusi energi seharusnya membawa kemudahan, bukan kesulitan baru. Kemandirian energi tidak boleh mengorbankan kepentingan rakyat kecil yang justru paling merasakan dampaknya,” pungkas Rupsel.

Sejauh ini, Kementerian ESDM menyatakan Pra Studi Kelayakan untuk proyek ini telah rampung dan sedang dipelajari lebih lanjut oleh konsultan sebelum implementasi penuh. Proyek konversi DME ini merupakan salah satu dari 18 proyek hilirisasi strategis nasional.

Sementara pemerintah bersiap menyambut era baru energi di dapur Indonesia, masyarakat menanti kejelasan dan jaminan bahwa transisi ini benar-benar membawa kemaslahatan bagi semua pihak, bukan hanya segelintir pelaku bisnis. (Red./As)

Editor: Nurul Khairiyah

DKI Jakarta
Comments (0)
Add Comment