Media vs. LSM: Sama-Sama Pilar Demokrasi, tapi Beda Peran dan Cara Kerja

JAKARTA (detikgp.com) – Dalam dinamika demokrasi Indonesia, dua aktor seringkali muncul sebagai pengawas kekuasaan: media dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 

Meski kerap disamakan karena sama-sama vokal mengkritik pemerintah, keduanya sebenarnya memiliki peran, fungsi, dan cara kerja yang fundamentally berbeda. Memahami perbedaan ini penting agar publik tidak keliru dalam menilai kontribusi masing-masing.

Media dan LSM adalah dua pilar penting dalam civil society (masyarakat madani) yang beroperasi untuk kepentingan publik. Keduanya lahir dari semangat yang sama: menjaga agar kekuasaan tidak disalahgunakan dan memastikan suara rakyat didengar.

Persamaan utama mereka terletak pada fungsi sebagai pengawas (watchdog). Media melakukan fungsi ini melalui pemberitaan dan investigasi, sementara LSM melakukannya melalui advokasi kebijakan, judicial review, dan tekanan politik. Keduanya juga sangat bergantung pada kredibilitas dan kepercayaan publik. 

Sebuah media akan ditinggalkan pembacanya jika terbukti menyebarkan hoaks, sebagaimana sebuah LSM akan kehilangan dukungan jika ketidaktransparan dalam pengelolaan dana terungkap.

Seperti diungkapkan dalam The SAGE Handbook of Governance, baik media maupun organisasi civil society seperti LSM, memainkan peran kunci dalam menciptakan akuntabilitas dan transparansi dalam tata kelola pemerintahan yang modern.

Di sinilah garis pemisah yang tegas terlihat. Perbedaan paling hakiki terletak pada produk dan tujuan akhir mereka.

Media berfungsi untuk menginformasikan, mendidik, dan menghibur. Tugas utamanya adalah memberitahu publik “apa yang sedang terjadi” secara akurat dan berimbang. Seperti prinsip yang dijabarkan dalam The Elements of Journalism, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran dan loyalitasnya kepada warga.

Media yang profesional berusaha menjaga netralitas dengan memberitakan semua sisi. Pendanaan media, pada umumnya, berasal dari iklan dan penjualan konten, yang membuat mereka akuntabel pada publik dan pasar.

Sebaliknya, LSM berfungsi untuk mengadvokasi dan bertindak. Tugasnya bukan hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga mendorong perubahan spesifik berdasarkan nilai atau misi yang dipegangnya. Sebuah LSM lingkungan seperti Greenpeace, misalnya, tidak hanya melaporkan kerusakan hutan, tetapi secara aktif berkampanye dan melakukan aksi langsung untuk menghentikannya.

LSM tidak harus bersikap netral; mereka memang didirikan untuk memihak pada nilai-nilai tertentu, seperti HAM atau lingkungan hidup. Pendanaan LSM biasanya berasal dari donasi, grant, atau iuran anggota, sehingga mereka lebih akuntabel kepada donatur dan konstituen yang mereka bela.

Media dan LSM bagai dua sisi dari mata uang yang sama: demokrasi yang sehat. Media adalah pilar keempat (the fourth estate) yang menyuplai informasi, sementara LSM adalah manifestasi dari civil society yang mentransformasikan informasi tersebut menjadi aksi nyata.

Alih-alih dipertentangkan, kolaborasi keduanya justru sangat dibutuhkan. Media seringkali membutuhkan LSM sebagai sumber data dan analisis yang mendalam, sementara LSM membutuhkan media untuk memperkuat suara dan memperluas jangkauan kampanyenya. Dengan memahami peran masing-masing, publik dapat lebih apresiatif terhadap kedua pilar demokrasi yang tak tergantikan ini. (Red./As)

Editor: Nurul Khairiyah

Anda mungkin juga berminat