JAKARTA (detikgp.com) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan penahanan terhadap tersangka baru dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di lingkungan Mahkamah Agung (MA). Tersangka yang ditahan adalah MED (Menas Erwin Djohansyah), Direktur PT WA, yang sebelumnya berstatus buron dan baru berhasil diamankan melalui upaya jemput paksa.
Pengumuman penahanan ini disampaikan pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Rabu sore (25 September 2025).
Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa penahanan ini dilakukan setelah MED tidak memenuhi panggilan penyidik sebanyak dua kali tanpa keterangan yang jelas.
“Penegakan hukum itu sangat perlu karena Indonesia sebagai negara hukum. Dalam rangka itulah kami melakukan upaya-upaya termasuk melakukan jemput paksa kepada tersangka karena yang bersangkutan tidak hadir dua kali pemanggilan,” ujar Asep Guntur.
MED berhasil ditangkap pada Rabu, 24 September 2025, sekitar pukul 18.44 WIB di sebuah rumah di kawasan Tangerang Selatan. Setelah pemeriksaan intensif, MED resmi ditahan selama 20 hari ke depan, terhitung sejak 25 September hingga 14 Oktober 2025, di cabang Rutan Negara Kelas 1 Jakarta Timur.
Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara suap yang sebelumnya diungkap KPK melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) di MA, yang melibatkan dua Hakim Agung (GS dan DS) yang kini telah divonis. MED diduga berperan sebagai penghubung dan pihak swasta yang mengurus perkara di MA melalui perantara HH (Hasbi Hasan), Sekretaris MA periode 2020-2023.
Asep Guntur menjelaskan, skema suap ini berawal sekitar awal tahun 2021:
- Perkenalan dan Permintaan Bantuan: MED diperkenalkan kepada HH oleh seseorang berinisial FR (Fadli Ramli). MED kemudian menyampaikan bahwa ia memiliki perkara dari temannya yang sedang berperkara di tingkat MA dan meminta bantuan kepada HH untuk memenangkan perkara tersebut.
- Permintaan Posko Khusus: Setelah beberapa kali pertemuan di tempat umum, HH meminta agar pembicaraan perkara dilakukan di tempat yang tertutup dan menyarankan MED untuk mencarikan tempat sebagai “posko”.
- Pengadaan Posko: Permintaan ini ditindaklanjuti. FR mencarikan tempat, tetapi biaya sewanya dibayarkan oleh MED.
- Urus Enam Perkara: Selama rentang waktu Maret hingga Oktober 2021, MED meminta bantuan HH untuk mengurus setidaknya enam perkara hukum dari teman-temannya. Perkara-perkara tersebut meliputi sengketa lahan di Bali, Jakarta Timur, Depok, Sumedang, Menteng, serta perkara sengketa lahan tambang di Samarinda.
HH menyanggupi untuk membantu penyelesaian perkara tersebut. Sebagai imbalan, HH meminta sejumlah uang kepada MED sebagai biaya pengurusan perkara yang besarnya bervariasi tergantung jenis perkaranya. Biaya diberikan secara bertahap, berupa uang muka (di awal) dan pelunasan (apabila perkara berhasil dimenangkan).
Dalam perkembangannya, beberapa perkara yang diurus oleh HH ternyata mengalami kekalahan. Akibatnya, MED dilaporkan oleh pihak yang memberinya uang. MED kemudian meminta bantuan FR untuk menyampaikan kepada HH agar mengembalikan uang pengurusan perkara yang sudah diserahkan karena hasilnya tidak sesuai permintaan.
“Jadi kalau enggak berhasil nih, dia kan juga minta dari temannya, minta uangnya. Padahal uangnya sudah diserahkan kepada HH. Nah, si MED ini dilaporkan juga oleh temannya yang berperkara itu, loh, kok sudah nitip, sudah ngasih uang, masih kalah perkaranya. Makanya dia nagih juga nih ke MED,” jelas Asep Guntur.
Atas perbuatannya, MED disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
KPK saat ini masih mendalami peran pihak-pihak lain, termasuk FR dan potensi aliran dana ke hakim agung, serta akan segera mengumumkan perkembangan terkait tersangka lain berinisial WI (Windy Idol). (Red./As)
Editor: Nurul Khairiyah