Siaga Dana Nganggur! Otonomi vs Efisiensi di Tengah Polemik Rp 234 T Uang Daerah

JAKARTA (detikgp.com) – Tumpukan uang rakyat senilai triliunan rupiah ternyata hanya menganggur di rekening-rekening bank milik pemerintah daerah. Data terbaru mengungkap potensi inefisiensi yang masif: total saldo dana menganggur (idle cash) di seluruh Pemda Indonesia mencapai angka fantastis, Rp 234 triliun.

Angka ini memantik perdebatan sengit antara dua kubu: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mendorong efisiensi nasional, dan Pemerintah Daerah (Pemda) yang menegaskan pentingnya asas otonomi dalam pengelolaan keuangannya.

Menteri Keuangan, Purbaya, dalam beberapa kesempatan menyoroti masalah ini dengan nada prihatin. Baginya, dana menganggur sebesar itu adalah potensi yang terbuang percuma.

“Dana Rp 234 triliun itu bukan angka kecil. Ini adalah uang rakyat yang seharusnya bisa bekerja untuk rakyat,” tegas Purbaya dalam sebuah forum ekonomi beberapa waktu lalu. “Bayangkan jika dana ini bisa dikonsolidasikan atau diputar bersama. Kita bisa memakainya untuk membiayai program strategis nasional, infrastruktur, atau setidaknya menghemat beban utang pemerintah. Yang terjadi sekarang, di satu daerah kekurangan dana hingga berutang, sementara daerah lain menimbun uangnya di bank.”

Pandangan Purbaya mencerminkan keinginan kuat pemerintah pusat untuk menerapkan prinsip Single Treasury Account (STA) secara lebih optimal. 

Dalam model ideal STA, saldo kas semua Pemda dikonsolidasikan, menghilangkan praktik “menimbun” uang di rekening daerah yang rawan penyalahgunaan.

Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, salah satu daerah dengan pendapatan asli daerah (PAD) terbesar di Indonesia yang memberikan penjelasan berbeda. Dalam sejumlah pernyataan publik. Pemprov Jabar menegaskan bahwa saldo besar di rekening daerah tidak otomatis berarti uang tersebut “nganggur”.

Menurut penjelasan yang beredar di kalangan pejabat daerah, dana itu merupakan cadangan likuiditas yang disiapkan untuk menghadapi kebutuhan mendesak, seperti penanganan bencana, percepatan proyek prioritas, hingga pembayaran kegiatan yang sudah dianggarkan namun belum jatuh tempo.

Mereka menilai, fleksibilitas pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian penting dari otonomi daerah. Ketergantungan penuh pada mekanisme pusat yang birokratis justru dikhawatirkan memperlambat respon terhadap situasi darurat di lapangan.

Pemerhati kebijakan Ekonomi yang juga Dosen Pascasarjana Universitas Trisakti H.M.Mulyadi,SE,Akt. melihat dua sisi koin dalam persoalan ini.

“Dari sisi efisiensi makro, Pak Purbaya benar. Rp 234 triliun adalah sumber daya yang teralienasi. Sistem yang terkonsolidasi seperti di Australia terbukti lebih hemat dan transparan,” ujar Mulyadi.

“Namun, Pemda juga punya dasar kuat. Otonomi adalah harga mati. Masalahnya, sistem saat ini, dengan ribuan rekening yang terpencar, menciptakan ‘surga’ bagi praktik kolusi dan kick back deposito.”

Mulyadi menjelaskan, dalam praktiknya, sebagian pejabat daerah menempatkan dana miliaran rupiah ke bank tertentu dan kemungkinan menerima komisi tidak resmi yang disamarkan sebagai fee atau CSR. 

“Dengan saldo sebesar itu, godaan untuk ‘main deposito’ sangat besar. Sistem STA akan memotong mata rantai ini karena uang tidak ‘diam’ cukup lama di rekening daerah untuk dinegosiasikan,” jelasnya.

Adakah solusi dari kebuntuan ini? Menurut Mulyadi, jalan tengah bisa ditempuh dengan memperkuat regulasi tanpa harus mencabut hak otonomi daerah.

“Pemerintah pusat cukup menetapkan batas maksimal saldo kas idle yang boleh dipegang daerah. Jika melebihi batas itu, kelebihannya wajib dilaporkan dan bisa dioptimalkan pusat untuk pembiayaan nasional,” ujarnya.

Selain itu, penerapan teknologi SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara) secara real-time perlu diperluas hingga ke level Pemda agar publik dapat memantau arus kas daerah secara transparan.

“Transparansi adalah obat terbaik. Kalau saldo dan transaksi daerah bisa diakses publik secara langsung, ruang untuk permainan gelap akan semakin sempit,” tegas Mulyadi.

Polemik Rp 234 triliun dana “nganggur” ini menjadi ujian bagi Indonesia dalam menyeimbangkan demokrasi lokal dengan efisiensi nasional. Otonomi daerah adalah hasil reformasi yang harus dijaga, namun di sisi lain, setiap rupiah uang rakyat wajib memberi manfaat sebesar-besarnya bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Pertanyaannya kini: maukah pemerintah pusat dan daerah duduk bersama mencari formula yang adil dan transparan sebelum dana triliunan rupiah itu kembali mengendap tanpa manfaat nyata bagi rakyat? (Red./As)

Editor: Nurul Khairiyah

Anda mungkin juga berminat