Mall Sepi, Belanja Pindah ke Online: Fenomena Rohana dan Rojali Merebak

JAKARTA (detikgp.com) – Fenomena “Rohana” dan “Rojali” tengah ramai diperbincangkan di media sosial Indonesia. Melansir laporan AlJazeera.com pada 25 September 2025, istilah ini digunakan untuk menyindir kebiasaan masyarakat yang datang ke pusat perbelanjaan hanya untuk melihat-lihat tanpa berbelanja.

Tren ini semakin terasa di berbagai kota besar, termasuk Medan, dimana karyawan toko kosmetik seperti Delima mengaku pusat perbelanjaan kini lebih sepi dibanding sebelumnya. Pelanggan yang datang pun kerap hanya mencoba tester produk, terutama parfum, lalu pergi tanpa membeli apa pun.

Fenomena ini terjadi di tengah tekanan daya beli masyarakat yang mulai terasa. Sejumlah indikator ekonomi menunjukkan penurunan penjualan di sektor ritel. PT Unilever Indonesia, misalnya, melaporkan penurunan penjualan hampir 4,5 persen pada paruh pertama 2025, sementara PT Matahari Department Store mencatat penurunan lebih dari 9 persen. 

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menilai istilah Rohana dan Rojali mencerminkan perubahan nyata dalam situasi ekonomi rumah tangga. Transaksi di pusat perbelanjaan disebut turun signifikan, sejalan dengan penurunan penjualan mobil dan sepeda motor.

Padahal, secara makro ekonomi Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan yang positif. Badan Pusat Statistik mencatat produk domestik bruto triwulan II 2025 tumbuh 5,12 persen secara tahunan, laju tercepat dalam dua tahun terakhir. 

Namun di sisi lain, protes besar-besaran sempat melanda berbagai kota pada Agustus lalu, dipicu pemangkasan anggaran pendidikan, pekerjaan umum dan kesehatan, serta kebijakan tunjangan perumahan anggota legislatif yang nilainya hampir sepuluh kali lipat upah minimum.

Survei yang dirilis ISEAS–Yusof Ishak Institute di Singapura pada Januari 2025 menunjukkan hanya 58 persen pemuda Indonesia yang optimistis terhadap kebijakan ekonomi pemerintah, jauh lebih rendah dibanding rata-rata 75 persen di negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Data pemerintah juga mencatat 16 persen dari 44 juta penduduk usia 15–24 tahun belum memiliki pekerjaan, lebih dari dua kali lipat tingkat pengangguran di Thailand dan Vietnam.

Pemerintah menepis anggapan bahwa fenomena Rohana dan Rojali mencerminkan kemerosotan daya beli. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pola konsumsi masyarakat tengah bergeser ke ranah daring, sejalan dengan meningkatnya konsumsi rumah tangga dan indikator positif lainnya. 

Pandangan senada disampaikan akademisi Teguh Yudo Wicaksono dari Universitas Islam Indonesia yang menyebut data resmi menggambarkan situasi kompleks: konsumsi rumah tangga tumbuh hampir 5 persen, namun penjualan ritel sedikit melemah. Ia menilai daya beli mungkin melemah pada segmen tertentu, sementara pola belanja bergeser ke sektor olahraga, hobi, hiburan, dan jasa.

Platform belanja daring seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, dan Alfa Gift juga semakin diminati. Survei Snapcart awal tahun ini menunjukkan setengah responden Indonesia menilai belanja online lebih praktis dibanding mengunjungi pusat perbelanjaan. Dewi Fauna, salah seorang pekerja kantoran, mengaku kini lebih sering datang ke mal untuk makan bersama teman atau keluarga ketimbang berbelanja. 

Menurutnya, harga barang di toko lebih mahal dan pilihan lebih terbatas dibanding toko daring. Ia hanya menyisihkan anggaran untuk makan di restoran seminggu sekali sebagai sarana rekreasi ringan.

Fenomena ini memperlihatkan wajah lain ekonomi Indonesia: di satu sisi pertumbuhan tetap positif, tetapi di sisi lain perilaku konsumen menunjukkan tanda-tanda pengetatan pengeluaran serta pergeseran pola belanja. 

Rohana dan Rojali menjadi simbol perubahan itu, mengingatkan bahwa angka-angka makro ekonomi belum tentu sepenuhnya mencerminkan kondisi riil masyarakat di lapangan. (Red/As)

Editor: Nurul Khairiyah

Anda mungkin juga berminat